Wednesday, June 12, 2013

Liputan Diskusi AARC: Masihkan Indonesia Punya Masa Depan?

Rabu sore (9/3), tadarusan bukuAsia Future Shock sampai pada sebuah topik panas: Apakah Indonesia Punya Masa Depan? Penulis Michael Backman tak meyakini hal tersebut. Setelah memprediksikan kebangkitan China, Vietnam, dan Myanmar, Backman justru membeberkan fakta muram tentang Indonesia pada bab ini. Konon sumur minyak di negeri ini telah kering. Investor enggan membuka usahanya. Korupsi menggerogoti birokrasi. Superman tak datang. Lalu bagaimana dengan masa depan Indonesia? Mengapa banyak orang pintar yang memilih tinggal di luar negeri?
Kedua pertanyaan itulah yang diajukan Aris Risma, peserta Asian-African Reading Club yang pekan ini mendapat giliran menyajikan topik. Pertama-tama, pemuda ini mengingatkan lagi keistimewaan Indonesia: keindahan alam, keragaman budaya, spesies primata dari yang terbesar hingga yang terkecil, sampai kenyataan bahwa Indonesia merupakan negara pertama yang memerdekakan diri setelah Perang Dunia II. Setelah keistimewaan tersebut dibenturkan dengan fakta lapangan, Aris pun kembali mengajukan pertanyaan, Apakah nantinya Indonesia cuma akan dihuni oleh orang bodoh yang kerjanya membodohi orang lainnya?

Sebelum para hadirin berdiskusi, Ferry Curtis maju ke depan untuk bernyanyi diiringi dengan gitarnya. Ia membawakan tiga lagu. Dua yang pertama merupakan balada getir tentang anak yang mencari bendera-nya, serta seseorang yang menanti kemunculan cahaya di serambi. Mengapa orang Indonesia nggak berkembang? tanya Kang Ferry di sela lagu. Karena mereka nggak didukung melakukan sesuatu yang disukainya. Ia bercerita tentang pertemuannya dengan Yusuf Islam dulu Cat Stevens yang menandatangani gitarnya. Musisi kesukaannya itu berpesan, Ferry, semoga dengan bernyanyi kamu bahagia. Sebuah lagu balada ceria menutup penampilan Ferry Curtis malam itu.

Jika Anda sering mengunjungi diskusi-diskusi di Museum KAA, niscaya Anda tahu kalau pendapat Pak Mamunlah yang biasa mengawali diskusi. Tak terkecuali pada kesempatan ini. Pak Mamun mengomentari orang-orang pintar yang memilih memanfaatkan ilmunya di negara lain, Ini pernah dibahas di Kick Andy!. Sebetulnya Indonesia banyak menghasilkan orang-orang yang lulus cum laude, tapi mereka memilih tinggal di negeri orang karena di Indonesia nggak ada akses buat mengembangkan potensi mereka.

Bu Nunun kemudian membandingkan keadaan di Indonesia dengan Malaysia. Saya pernah membaca bahwa salah satu penyebab kemajuan Malaysia adalah keberhasilan mereka mengembangkan pola komunikasi yang efektif. Dengan komunikasi tersebut, potensi setiap orang dapat diketahui, kata Bu Nunun. Kadang-kadang ketika kita membuat sebuah kegiatan, misalnya diskusi, kita cuma mendapat kepuasan pribadi karena merasa telah melakukan sesuatu. Pesan dan tujuan dari kegiatan itu nggak sampai. Alhasil masalah yang kita hadapi juga nggak selesai-selesai.

Sebelumnya, Ferry meramalkan tiga skenario yang terjadi pada Indonesia di masa mendatang, Pertama, Indonesia akan bangkrut. Kedua, Indonesia akan bubar. Atau ketiga, Indonesia akan memimpin dunia. Kurang banyak pilihan. Pak Isman, berbicara tidak sebagai kepala museum, tertarik dengan ide kedua. Ada sebuah studi yang memperkirakan Indonesia akan terpisah menjadi lima belas negara. Ini masuk akal karena Indonesia merupakan konsep baru yang dibuat oleh Tan Malaka, jelas Pak Isman. Kalau itu terjadi, menurut saya akan aman kalau negara-negara yang terpecah menggunakan model web seperti yang digunakan oleh kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Kerajaan-kerajaan ini berbeda dengan model negara yang digunakan Eropa. Mereka nggak memiliki satu ibukota tetap, tapi digilir dari satu daerah ke daerah lain. Untuk tinggal dan bepergian dari satu kerajaan ke kerajaan lain pun nggak perlu paspor atau visa.

Hal itu tentu berbeda dengan kondisi Indonesia saat ini. Indonesia itu sombong. Orang Indonesia yang sudah jadi warga negara asing, untuk bisa tinggal di Indonesia ia harus melalui proses birokrasi yang berbelit dan mengeluarkan banyak uang, ujar Pak Isman.

Pada kesempatan ini, Asian-African Reading Club juga kedatangan Pak Hendrajit dari Global Future Institute, sebuah think tank yang berfokus pada masalah-masalah internasional. Ia sepandangan soal komunikasi yang disampaikan Bu Nunun, Barangkali keadaan sekarang seperti dalam Sounds of Silence, lagunya Simon & Garfunkle, People talking without speaking. People hearing without listening, jadinya nggak terjadi persenyawaan. Kadang-kadang, ketika menyelesaikan suatu masalah orang nggak memahami akar masalahnya. Tindakan nggak sesuai dengan akar masalah tersebut. Nggak heran kalau masalahnya nggak selesai dan menimbulkan masalah baru.

Ketika malam semakin larut, akhirnya Aris membuat kesimpulan dari diskusi ini. Indonesia masih punya masa depan apabila 1. Orang mampu meng-komunikasi-kan maksud dan tujuannya dengan baik. 2. Tidak sombong. 3. Sinkron antara tujuan dengan tindakan yang diambil. Seringkali, ketika melihat kompleksnya permasalahan Indonesia seseorang berpikir bahwa solusi dari permasalahan itu adalah hal yang kompleks juga. Dalam diskusi ini solusi yang muncul kedengaran sederhana. Namun, bukankah teori biasanya lebih sederhana dari praktiknya?

0 comments:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes
Design Downloaded from Free Blogger Templates | free website templates | Free Vector Graphics | Web Design Resources.