1 Desember 2010
Jalan masih panjang
yang harus kau tempuh
Menapak menurun mendaki
tak harus mengeluh
Waktu yang tersisa tiada percuma
Asal kau jeli membaca,
mengeja tanda tandanya
Setiap nafas hidup adalah karunia
Tak ternilai harganya
seperti nafas yang kau punya
Allahu Akbar, Allah Maha Besar
Karunia hidup ini; Adalah JANJI
Menggunakan
kemeja putih polos, celana jins biru muda, sepatu kulit hitam dan
jari-jari tangan kanannya sibuk memetik gitar cokelat yang menempel di
dadanya. Begitulah penampilan Ferry Curtis
pertama kali saya melihatnya sebelum tampil di depan teman-teman IKPM
Jogya di Prambanan akhir bulan Syawal tahun ini. Bernyanyi lepas dan
menghayati setiap lirik yang dilantunkan menambah rasa penasaran saya
tentang sosok penyanyi muda ini. Setiap liriknya menyentuh batin setiap
orang mendengarnya hingga setiap tangan memberikan applause hangat untuk aksi panggungnya. Simple, Intraktif dan inspiratif adalah nilai awal dari saya pribadi.
Berjuang dengan Kekuatan Lirik
Bernyanyilah
dengan bahagia, karena kebahagiaanlah yang membuat kita kaya. Begitulah
kurang lebih pesan yang saya (dan teman-teman) dengar dari Ferry Curtis
sebelum meninggalkan Prambanan. Rupanya musisi bernama lengkap R Ferry A
Anggawijaya ini telah menulis 250 lebih lirik lagu. Liriknya mempunyai
karakter yang khas dan sangat berkesan, termasuk mengkritik lewat
kekuatan lirik. Mungkin penilaian saya terlalu subjektif, namun
begitulah yang saya dapat katakan. Dengan gitarnya yang pernah dipakai
Yusuf Islam manggung di Aceh, dia bisa menyapa Indonesia dan membuat
orang di sekitarnya ‘hidup’. Mengajarkan kepada saya keberanian hidup
dengan memaksimalkan potensi yang diberikan Tuhan untuk sebuah amanah
suci.
Meskipun tidak sepopuler penyanyi-penyanyi yang sukanya
nongkrong di media, lagu-lagu ciptaan Kang Ferry tidak kalah menarik.
Dari beberapa informasi dari teman, beberapa dapur rekaman ternama di
tanah air memberikan tawaran, namun Kang Ferry menolaknya. Soal bobot,
salah satu lagunya, ‘Pustaka’ yang pernah diciptakannya untuk pameran
buku di Jakarta ini telah menjadi hits
untuk Gerakan Membaca di beberapa kota Indonesia. Seperti pesannya,
“Bernyanyilah dengan bahagia..” bukan “bernyanyi untuk uang..” dalam hal
ini, penafsiran kebahagian perlu kita buka untuk suatu argumentasi yang
lebih jernih. Tujuan setiap orang berkarya tentu berbeda. Di zaman
keterbukaan informasi ini acara hiburan termasuk produk kesenian sudah
berkiblat kepada materi atau komersialisasi.
Mirip tapi tak sama
Coba
perhatikan pemusik balada yang tetap konsisten di jalurnya sangat
sedikit, seperti Iwan Fals, Franky Sahilatua, dan Ebiet G Ade.
Manusia-manusia produktif seperti mereka memang tidaklah gila publik
atau materi. Mereka berkarya bukan untuk uang tapi untuk sebuah
perjuangan menuju perubahan bangsa yang lebih baik. Bung Ferry
mengungkapkan kekecewaannya terhadap para penguasa yang mengakibatkan
rakyat menderita lewat lirik yang kebanyakan terinspirasi dari
perjalanannya keliling Indonesia. Seperti yang dikatakan blog kang
Ferry, di setiap perjalanan dalam berkonser, ia melihat banyak fenomena
sosial dan menyimpulkannya dalam dua kata, yaitu "Indonesia Gerimis".
Mengapa
Karya-karya Al Ghazali masih dibaca hingga kini meskipun penulisnya
telah mati ratusan tahun yang lalu? Karena Al Ghazali menulis
karya-karyanya dengan penuh keikhlasan. Tentunya semua orang Indonesia
mempunyai jawaban yang tak jauh beda, mengapa Iwan Fals disebut the legend
yang menembus masa? Karena sejarah telah mengukir perjuangan,
pengorbanan dan keikhlasan untuk suatu perubahan. Kalau saya tidak
berlebihan, generasi pemusik balada kelahiran 20 Oktober ini adalah the next legend atau Iwan Fals jilid ke-dua. Meskipun ada yang mirip tapi tetap beda. Kang Ferry is Kang Ferry.
Anak kecil mencari-cari
sungai yang jernih untuk bermandi
Anak kecil terheran heran
hutan yang hijau kini kerontang
Anak kecil kini bersedih
sejarah bangsanya bertumpang tindih
Anak kecil tambah tak faham
di tanah yang subur orang tak makan
Ke mana kini aku mencari alam tenang
Di mana kini aku dapatkan cahaya terang, hilang....
Hilang, hilang, hilang dicuri gagak terbang
Hilang, hilang, hilang ditelan kambing hitam
Anak kecil menangis lagi
peta negerinya berkurang sendiri
Anak kecil menjerit lirih
Sang Dwi Warna hilang dicuri
Ke mana kini aku mencari Bendera
Di mana kini aku dapatkan cahaya, hilang....
Hilang, hilang, hilang dicuri naga terbang
Hilang, hilang, hilang ditelan kambing hitam
Anak kecil menangis lagi; Bendera djiwanya hilang di curi....
(Anak kecil kehilangan Bendera, Ferry Curtis - 2004)
Wednesday, June 12, 2013
Iwan Fals Jilid Dua
11:05 AM
MetaforProduction
No comments
0 comments:
Post a Comment