Rabu sore (9/3), tadarusan bukuAsia Future Shock sampai pada
sebuah topik panas: Apakah Indonesia Punya Masa Depan? Penulis Michael
Backman tak meyakini hal tersebut. Setelah memprediksikan kebangkitan
China, Vietnam, dan Myanmar, Backman justru membeberkan fakta muram
tentang Indonesia pada bab ini. Konon sumur minyak di negeri ini telah
kering. Investor enggan membuka usahanya. Korupsi menggerogoti
birokrasi. Superman tak datang. Lalu bagaimana dengan masa depan
Indonesia? Mengapa banyak orang pintar yang memilih tinggal di luar
negeri?
Kedua pertanyaan itulah yang diajukan Aris Risma, peserta
Asian-African Reading Club yang pekan ini mendapat giliran menyajikan
topik. Pertama-tama, pemuda ini mengingatkan lagi keistimewaan
Indonesia: keindahan alam, keragaman budaya, spesies primata dari yang
terbesar hingga yang terkecil, sampai kenyataan bahwa Indonesia
merupakan negara pertama yang memerdekakan diri setelah Perang Dunia II.
Setelah keistimewaan tersebut dibenturkan dengan fakta lapangan, Aris
pun kembali mengajukan pertanyaan, Apakah nantinya Indonesia cuma akan
dihuni oleh orang bodoh yang kerjanya membodohi orang lainnya?
Sebelum para hadirin berdiskusi, Ferry Curtis maju ke depan untuk
bernyanyi diiringi dengan gitarnya. Ia membawakan tiga lagu. Dua yang
pertama merupakan balada getir tentang anak yang mencari bendera-nya,
serta seseorang yang menanti kemunculan cahaya di serambi. Mengapa orang
Indonesia nggak berkembang? tanya Kang Ferry di sela lagu. Karena
mereka nggak didukung melakukan sesuatu yang disukainya. Ia bercerita
tentang pertemuannya dengan Yusuf Islam dulu Cat Stevens yang
menandatangani gitarnya. Musisi kesukaannya itu berpesan, Ferry, semoga
dengan bernyanyi kamu bahagia. Sebuah lagu balada ceria menutup
penampilan Ferry Curtis malam itu.
Jika Anda sering mengunjungi diskusi-diskusi di Museum KAA, niscaya
Anda tahu kalau pendapat Pak Mamunlah yang biasa mengawali diskusi. Tak
terkecuali pada kesempatan ini. Pak Mamun mengomentari orang-orang
pintar yang memilih memanfaatkan ilmunya di negara lain, Ini pernah
dibahas di Kick Andy!. Sebetulnya Indonesia banyak menghasilkan
orang-orang yang lulus cum laude, tapi mereka memilih tinggal di negeri
orang karena di Indonesia nggak ada akses buat mengembangkan potensi
mereka.
Bu Nunun kemudian membandingkan keadaan di Indonesia dengan Malaysia.
Saya pernah membaca bahwa salah satu penyebab kemajuan Malaysia adalah
keberhasilan mereka mengembangkan pola komunikasi yang efektif. Dengan
komunikasi tersebut, potensi setiap orang dapat diketahui, kata Bu
Nunun. Kadang-kadang ketika kita membuat sebuah kegiatan, misalnya
diskusi, kita cuma mendapat kepuasan pribadi karena merasa telah
melakukan sesuatu. Pesan dan tujuan dari kegiatan itu nggak sampai.
Alhasil masalah yang kita hadapi juga nggak selesai-selesai.
Sebelumnya, Ferry meramalkan tiga skenario yang terjadi pada
Indonesia di masa mendatang, Pertama, Indonesia akan bangkrut. Kedua,
Indonesia akan bubar. Atau ketiga, Indonesia akan memimpin dunia. Kurang
banyak pilihan. Pak Isman, berbicara tidak sebagai kepala museum,
tertarik dengan ide kedua. Ada sebuah studi yang memperkirakan Indonesia
akan terpisah menjadi lima belas negara. Ini masuk akal karena
Indonesia merupakan konsep baru yang dibuat oleh Tan Malaka, jelas Pak
Isman. Kalau itu terjadi, menurut saya akan aman kalau negara-negara
yang terpecah menggunakan model web seperti yang digunakan oleh
kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Kerajaan-kerajaan ini berbeda
dengan model negara yang digunakan Eropa. Mereka nggak memiliki satu
ibukota tetap, tapi digilir dari satu daerah ke daerah lain. Untuk
tinggal dan bepergian dari satu kerajaan ke kerajaan lain pun nggak
perlu paspor atau visa.
Hal itu tentu berbeda dengan kondisi Indonesia saat ini. Indonesia
itu sombong. Orang Indonesia yang sudah jadi warga negara asing, untuk
bisa tinggal di Indonesia ia harus melalui proses birokrasi yang
berbelit dan mengeluarkan banyak uang, ujar Pak Isman.
Pada kesempatan ini, Asian-African Reading Club juga kedatangan Pak
Hendrajit dari Global Future Institute, sebuah think tank yang berfokus
pada masalah-masalah internasional. Ia sepandangan soal komunikasi yang
disampaikan Bu Nunun, Barangkali keadaan sekarang seperti dalam Sounds
of Silence, lagunya Simon & Garfunkle, People talking without
speaking. People hearing without listening, jadinya nggak terjadi
persenyawaan. Kadang-kadang, ketika menyelesaikan suatu masalah orang
nggak memahami akar masalahnya. Tindakan nggak sesuai dengan akar
masalah tersebut. Nggak heran kalau masalahnya nggak selesai dan
menimbulkan masalah baru.
Ketika malam semakin larut, akhirnya Aris membuat kesimpulan dari
diskusi ini. Indonesia masih punya masa depan apabila 1. Orang mampu
meng-komunikasi-kan maksud dan tujuannya dengan baik. 2. Tidak sombong.
3. Sinkron antara tujuan dengan tindakan yang diambil. Seringkali,
ketika melihat kompleksnya permasalahan Indonesia seseorang berpikir
bahwa solusi dari permasalahan itu adalah hal yang kompleks juga. Dalam
diskusi ini solusi yang muncul kedengaran sederhana. Namun, bukankah
teori biasanya lebih sederhana dari praktiknya?
Wednesday, June 12, 2013
Liputan Diskusi AARC: Masihkan Indonesia Punya Masa Depan?
11:16 AM
MetaforProduction
No comments
0 comments:
Post a Comment